Majalah atau bacaan khusus untuk anak kian satu per satu menghilang. Bagaimana dengan majalah anak yang masih bertahan?
Disrupsi digital membuat banyak media cetak tumbang, tidak terkecuali majalah untuk anak-anak. Beberapa pengelola masih berusaha sekuat tenaga mempertahankannya demi mengisi waktu luang anak dengan bacaan yang jauh lebih bergizi dibandingkan kebanyakan konten media sosial.
Majalah anak telah mengisi kehidupan anak-anak Indonesia dari generasi ke generasi. Ada beberapa majalah anak yang legendaris seperti Si Kuntjung yang terbit era 1950-an hingga 1970-an. Pada generasi berikutnya muncul Bobo yang terbit sejak 1973 hingga sekarang.
Lewat Bobo yang memiliki slogan "Teman Belajar dan Bermain", anak-anak Indonesia yang tumbuh pada era 1970-an hingga 2000-an akrab dengan karakter- karakter cerita Oki dan Nirmala, Ron Ron, Bona si gajah berwarna pink, hingga Deni Si Manusia Ikan.
Berikutnya muncul majalah Ananda dan majalah anak lainnya. Saat terjadi "booming" tabloid pada akhir 1990-an hingga awal 2000-an, muncul tabloid- tabloid anak mulai Fantasi yang berisi karakter-karakter fantasi, Hoplaa, dan Bianglala. Sempat pula muncul Koran Anak Berani.
Sebagian besar media cetak untuk anak-anak itu sudah hilang dari peredaran. Ada yang mati karena persoalan manajemen, ada yang tidak sanggup beradaptasi dengan era digital. Satu dari sedikit media cetak anak yang tetap bertahan adalah Bobo. Selain dalam bentuk cetak, majalah legendari itu sekarang hadir pula dalam bentuk digital. Sebagian kontennya bisa ditemukan di media baru.
Ketika disrupsi digital mulai hadir, nyatanya tetap muncul majalah anak generasi baru. Di antaranya adalah majalah komik Kuark yang mulai terbit 2003 dan Cahaya Inspirasi Indonesia yang terbit 2010. Kuark digagas oleh Sanny Djohan ini dan dirancang untuk siswa SD. Majalah ini berusaha membawa anak-anak ke alam sains melalui kisah-kisah kehidupan sehari-hari maupun kearifan lokal Indonesia.
Pengelola mencoba membangkitkan antusiasme anak pada sains lewat eksperimen sederhana memanfaatkan apa yang ada di sekitar mereka. Sejak tahun 2007, majalah ini menggelar ajang Olimpiade Sains Kuark (OSK) sebagai katalisator agar anak-anak SD makin senang mempelajari sains.
Sementara itu, majalah CIA digagas oleh Stefanie Augustin, seorang ibu dari dua anak. Ia mendirikan CIA sebagai jembatan bagi anak untuk mengenal lebih dekat kekayaan, karakter, dan nilai luhur budaya Indonesia. CIA edisi Januari 2020, misalnya menyajikan cerita tentang beragam profesi kepada pembaca anak-anak usia SD.
Selain itu, ada tulisan tentang budaya masyarakat Pulau Intata di Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara yang punya tradisi Mane'e, semacam kegiatan gotong royong masyarakat menangkap ikan dengan daun kelapa muda.
Di dalam tulisan dijelaskan, ternyata daun kelapa muda memberikan nutrien bagi mahluk hidup di laut. Ikan-ikan suka menempel di daun kelapa muda yang kemudian memancing ikan besar mendekat. Menangkap ikan pun jadi mudah dan ramah lingkungan.
Bertahan
Ketika anak semakin akrab dengan gawai, tidak mudah bagi pengelola majalah anak untuk bertahan. Apalagi secara bisnis, keuntungan membuat majalah anak itu kecil. Stefanie dan Sanny mengatakan, tujuan utama mereka menerbitkan majalah anak bukan semata mencari untung, tetapi ada misi lain.
Lewat CIA, Stefanie mengaku berupaya mendekatkan anak-anak pada budaya Indonesia. "Indonesia itu kalau digali luar biasa sekali. Padahal, selain buku pelajaran, anak-anak tidak memiliki bacaan lain yang menceritakan Indonesia yang luar biasa ini," jelas Stefanie, akhir Juli 2020
Ia semula berharap, semakin banyak media bacaan yang tumbuh. Faktanya, justru lima tahun terakhir banyak media bacaan anak yang tutup. "Padahal anak-anak kita perlu banget. Apalagi di era digital, usia sekolah dasar itu wajib harus tetap dengan media cetak. Itu yang kita pelajari dan dapatkan. Itu yang saya perjuangkan," tambahnya.
Ia yakin sekali bahwa anak-anak bukannya tidak suka membaca, melainkan mereka belum mendapatkan media yang sesuai dengan kebutuhan mereka.
Agar bisa bertahan dari disrupsi digital dan sekarang terjangan pandemi Covid- 19, CIA mengembangkan edisi digital dalam bentuk PDF yang dibagikan gratis. Namun, media cetak tetap dipertahankan karena ternyata tetap penting bagi anak usia sekolah dasar.
Sanny mengatakan, pandemi Covid-19 memaksa orangtua memiliki paradigma baru dalam memandang pendidikan anak. "Orangtua tidak bisa lagi sepenuhnya menyerahkan pendidikan kepada sekolah. Orangtua juga perlu menjadi orangtua era baru. Dukungan ini bisa didapatkan dengan sumber bacaan dan informasi yang berkualitas untuk anak-anak mereka. ujar Sanny,
Seiring makin kuatnya pengaruh media baru, beberapa pihak membuat blog untuk anak. Salah satunya adalah blog anakbertanya.com yang digagas Profesor matematika dari Institut Teknologi Bandung Hendra Gunawan sejak tahun 2013. Blog ini menjadi media buat anak-anak untuk bertanya apa saja dan akan dijawab oleh pakar.
Salah satu pertanyaan di kategori isu sosial ekonomi dilontarkan Steffi (9) Bandung. Dia bertanya mengapa bahasa Inggris digunakan sebagai bahasa internasional? Seorang guru bahasa Inggris di SD swasta di Jakarta, Aprileny bersedia memberikan jawaban. Dia menjelaskan d masa perang dunia kedua, Amerika Serikat jadi penampung ilmuwan dari negara lain. AS yang bahasa resminya bahasa Inggris mendapat manfaat ilmu pengetahuan dan teknologi. Inilah salah satu yang membuat pengaruh AS kuat di dunia sehingga bahasa Inggris jadi semakin penting untuk berkomunikasi secara internasional.
Yanti Setianti, dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran Bandung yang menaruh perhatian pada isu-isu anak, berpendapat, kehadiran media anak sangat penting di tengah kepungan media-media lain, terutama media baru, yang kontennya belum tentu relevan dengan dunia anak, bahkan ada yang seharusnya terlarang untuk dilihat oleh anak.
"Tapi kan media baru tidak ada filternya. Orang bisa lihat apa saja. Saya miris sekali dengan situasi ini. Saya bingung nanti generasi anak-anak sekarang akan seperti apa?"
Yanti berharap pemerintah turun tangan untuk mendorong hadirnya media-media untuk anak. seharusnya, lanjut Yanti, ada kebijakan dari pemerinta seperti pemberian subsidi kepada media yang kontennya didedikasikan untuk literasi kepada anak-anak.
"Kalau perlu pemerintah bikin sendiri media anak yang bagus. Kondisinya menurut saya sudah kritis," tengas Yanti.
Sumber : https://www.kompas.id/baca/muda/2020/07/26/berjuang-mempertahankan-media-bacaan-untuk-anak/

